Laut rinduku kepada Laila tak berdasar wahai pujangga, riak di bawah riak. Berlapis lapis seperti kehendakku bertemu dengannya. Dalam senyap dalam gelap, penuh harap melesak ke dalam dadaku. Dia sungguh ada, di suatu tempat, aku akan terus mencarinya hingga ke ujung cakrawala. Di sana ia menantiku gegap gempita di istana cinta. Sebuah pesta tak terlukiskan benak kita akan menyambut kedatanganku, wahai pujangga. Senyumnya menyebar bersama awan, indah cantik jelita dalam lembayung sebuah senja di ujung Samudra India.
Wahai pujangga, ketahuilah aku dan Laila ibarat tubuh dan sel-sel yang menyusunnya. Genetika juga DNA-ku adalah bagian darinya, yang dipancarkan dari langit malam. DNA-ku, DNA kita berakar pada satu, oh Laila. Denyut terasa sangat menggoda dalam aliran darah juga cabang cabang sarafku, hormon hormon cinta mengalir dengan derasnya dalam relung rasa tak terukur dalamnya, indah memesonakan raga jiwaku. Sungguh membius seperti ketamine menyusupi raga.
Wahai pujangga, ketahuilah aku dan Laila adalah sebuah umpama tak terperi dari rasa cinta sejati. Sesungguhnya cinta kami adalah cinta sehidup semati, tak bertepi, juga merasuk hingga titik nadir sanubari. Cinta yang selalu terbakar dalam hangat kebersamaan dari akar fajar hingga pucuk senja. Bianglala. Dari sebuah zygote hingga seluruh anggota lapuk kembali ke bumi. Cinta kami cinta suci, di antara dua zat yang saling mengukuhkan. Laila, betapa aku sangat mencintaimu.
Wahai pujangga, ketahuilah. Kau dan aku adalah satu. Sebagai pengelana cinta. Ujung jari kita meliuk lentur di setiap lembar kertas. Di setiap papan keyborad. Di setiap tuts piano. Di setiap denting gitar. Kita akan mengakar dalam sanubari kebersamaan, dalam nuansa cinta yang meletup letup serupa tumbukan atom di bintang muda. Ketahuilah wahai pujangga, cinta kita cinta Laila.
Bireuen, 31 Januari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar