laila, siang ini hujan mengucur deras dari kantung-kantung air yang bergelayut di setiap gerombol awan. Jalan ini menjadi sangat licin, batu-batu bertonjolan, lumpur-lumpur meluncur dari balik bukit-bukit bundar, menghempas ilalang, menggulung uling-uling yang akarnya berpilin, menggerus kerikil lalu pasir merah merekah menghampar ke udara.
Laila, aku takut pulang dalam hujan deras seperti ini, kau tentu tahu – seperti yang kuceritakan padamu dulu – aku pernah terperangkap dalam deras hujan, dalam kepung lumpur, hingga aku mesti tidur semalaman di dalam mobil: sunyi gigil. Tak ada selimut italati kesayangan, terpaksa kubalut tubuhku dengan selimut mobil keperakan bersaput serpihan-serpihan debu jalanan. Aku bergetaran sepanjang desah waktu. Sungguh sangat beku aku di bawah sebatang pohon kanis tak jauh dari jembatan. Ditambah sedikit rasa takut: di mana kata orang-orang, di jembatan kanis itu banyak nyawa manusia melayang, kepala-kepala membentur batu di zaman huru-hara.
: Hingga orang-orang menggerubutiku esok pagi, berlomba-lomba memberi pertolongan.
Laila, dalam galau menunggu kelebat angin menghalau tarian hujan ke selatan, ke barisan gunung tak berpenghuni, aku mengenang dirimu. Engkau sungguh syahdu, menari-nari dalam lamunanku. Irama padang pasir mengalun sembari menendang-nendang lembut dinding hatiku. Indah Laila, indah sekali seperti menyulam benang-benang pelangi pada gaunmu, membentuk secarik lambang cinta yang kian meronta ingin meloncat keluar dari hatiku, lalu kusematkan pada dadamu.
Kuta raja, 17 Februari 2010
Laila, aku takut pulang dalam hujan deras seperti ini, kau tentu tahu – seperti yang kuceritakan padamu dulu – aku pernah terperangkap dalam deras hujan, dalam kepung lumpur, hingga aku mesti tidur semalaman di dalam mobil: sunyi gigil. Tak ada selimut italati kesayangan, terpaksa kubalut tubuhku dengan selimut mobil keperakan bersaput serpihan-serpihan debu jalanan. Aku bergetaran sepanjang desah waktu. Sungguh sangat beku aku di bawah sebatang pohon kanis tak jauh dari jembatan. Ditambah sedikit rasa takut: di mana kata orang-orang, di jembatan kanis itu banyak nyawa manusia melayang, kepala-kepala membentur batu di zaman huru-hara.
: Hingga orang-orang menggerubutiku esok pagi, berlomba-lomba memberi pertolongan.
Laila, dalam galau menunggu kelebat angin menghalau tarian hujan ke selatan, ke barisan gunung tak berpenghuni, aku mengenang dirimu. Engkau sungguh syahdu, menari-nari dalam lamunanku. Irama padang pasir mengalun sembari menendang-nendang lembut dinding hatiku. Indah Laila, indah sekali seperti menyulam benang-benang pelangi pada gaunmu, membentuk secarik lambang cinta yang kian meronta ingin meloncat keluar dari hatiku, lalu kusematkan pada dadamu.
Kuta raja, 17 Februari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar