Categories

Rabu, 26 Mei 2010

Disini, aku menunggumu

laila, siang ini hujan mengucur deras dari kantung-kantung air yang bergelayut di setiap gerombol awan. Jalan ini menjadi sangat licin, batu-batu bertonjolan, lumpur-lumpur meluncur dari balik bukit-bukit bundar, menghempas ilalang, menggulung uling-uling yang akarnya berpilin, menggerus kerikil lalu pasir merah merekah menghampar ke udara.

Laila, aku takut pulang dalam hujan deras seperti ini, kau tentu tahu – seperti yang kuceritakan padamu dulu – aku pernah terperangkap dalam deras hujan, dalam kepung lumpur, hingga aku mesti tidur semalaman di dalam mobil: sunyi gigil. Tak ada selimut italati kesayangan, terpaksa kubalut tubuhku dengan selimut mobil keperakan bersaput serpihan-serpihan debu jalanan. Aku bergetaran sepanjang desah waktu. Sungguh sangat beku aku di bawah sebatang pohon kanis tak jauh dari jembatan. Ditambah sedikit rasa takut: di mana kata orang-orang, di jembatan kanis itu banyak nyawa manusia melayang, kepala-kepala membentur batu di zaman huru-hara.
: Hingga orang-orang menggerubutiku esok pagi, berlomba-lomba memberi pertolongan.

Laila, dalam galau menunggu kelebat angin menghalau tarian hujan ke selatan, ke barisan gunung tak berpenghuni, aku mengenang dirimu. Engkau sungguh syahdu, menari-nari dalam lamunanku. Irama padang pasir mengalun sembari menendang-nendang lembut dinding hatiku. Indah Laila, indah sekali seperti menyulam benang-benang pelangi pada gaunmu, membentuk secarik lambang cinta yang kian meronta ingin meloncat keluar dari hatiku, lalu kusematkan pada dadamu.





Kuta raja, 17 Februari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar