Categories

Minggu, 03 April 2011

GERAKAN-GERAKAN PEMUDA DAN MAHASISWA ACEH Pergerakan Pemuda Dan Mahasiswa Era 1994-1998


Tumbuhnya kesadaran bersama secara massif di kalangan Mahasiswa Pemuda Aceh di Aceh dan di perantauan, terhadap situasi dan kondisi aceh yang mengalami degradasi kemanusiaan secara akut akibat tindakan represif aparat militer yang merupakan implementasi dari kebijakan pemerintah pusat dalam merespons sikap Rakyat Aceh yang menuntut persamaan hak dan keadilan, yang mana selama bergabung kedalam Republik Indonesia, dinistakan harkat dan martabatnya. Elemen-elemen Mahasiswa Pemuda Aceh di Aceh dan perantauan merasa perlu untuk menjalin komunikasi dengan sesama elemen mahasiswa pemuda mengenai isu-isu demiliterisasi dan humanisme, sehingga membentuk aliansi taktis kelompok muda dalam rangka memperjuangkan harkat dan martabat rakyat sipil yang tertindas, terutama akibat tindakan tindakan represif Pemerintah yang diwakili oleh aparatur militernya.

Elemen elemen Mahasiswa Pemuda Aceh di Aceh dan perantauan juga memandang penting bahwa wadah pemersatu merupakan hal yang mutlak diperlukan untuk mengefektifkan perjuangan untuk mengangkat kembali harkat dan martabat Rakyat Aceh dengan pola pola pikir dan pendekatan secara intelektual. Sehingga terbentuklah KARMA di Aceh dan KMPAN diperantauan serta organisasi-organisasi mahasiswa dan pemuda lainnya. Puncak dari kesadaran massif yang telah tumbuh subur dan mengkristal di kalangan Mahasiswa Pemuda Aceh saat itu adalah kemampuan memanfaatkan runtuhnya hegemoni Orde Baru untuk mendorong dicabutnya status Daerah Operasi Militer di Aceh dan upaya penghentian konflik bersenjata di Aceh dengan cara mendorong isu-isu yang lebih pada gerakan politik.

a. Pola Gerakan Pemuda Dan Mahasiswa Era 1999-2004

Elemen elemen Mahasiswa Pemuda Aceh di Aceh dan di perantauan memandang penting dan mendesak untuk segera mengambil tindakan dalam menyikapi momen perubahan geopolitik nasional terhadap kebebasan dan hak hak sipil. Sikap yang lahir pada saat ini adalah menindaklanjuti momentum positif terhadap kebebasan dan hak hak sipil dengan menyatakan sikap bersama bahwa penyelesaian konflik Aceh secara damai dan bermartabat dapat dilakukan dengan solusi yaitu memberikan kesempatan kepada Rakyat Aceh untuk mengambil kembali salah satu pilar hak hak sipil yang selama ini terenggut berupa kebebasan memilih dan menentukan nasibnya sendiri (self determinence).

Solusi berupa kebebasan memilih dan menentukan nasibnya sendiri, dimana di Aceh lebih dikenal dengan istilah Referendum. Opsi yang disepakati terdapat dalam jajak pendapat untuk menyelesaikan konflik Aceh secara damai yaitu Otonomi Khusus dalam Negara Republik Indonesia atau melepaskan diri dari Negara republik Indonesia. Untuk mensosialisasikan dan memberikan pemahaman menyeluruh tentang substansi Referendum, mekanisme maupun opsi yang ada, maka elemen sipil pada saat itu membentuk organisasi khusus untuk itu.

Pasca pembentukan organisasi tersebut, euforia dikalangan masyarakat Aceh begitu tinggi dalam merespon Nasionalisme keAcehan untuk menegakkan kembali harkat dan martabatnya, sehingga, sekali lagi Pemerintah Pusat dengan sikap fobia berlebihan dalam menilai dinamika pada masyarakat Aceh saat itu sebagai suatu ancaman, sehingga menerapkan status Darurat Militer dan Sipil, sehingga menyebabkan kekerasan demi kekerasan tetap menjadi sejarah kelam yang terulang di Bumi Serambi Mekkah. Penistaan terhadap harkat dan martabat Rakyat Aceh mencapai klimaknya sampai akhir periode 2004.

b. Anomali Gerakan Pemuda Dan Mahasiswa Era 2005-2006

Gempa Bumi dan Tsunami sebagai satu satunya peristiwa yang berada diluar kemampuan dan campur tangan manusia, baik atas nama perorangan, komunitas, organisasi, maupun institusi baik formal dan informal, telah membuka mata hati seluruh komponen dan elemen masyarakat bahwa konflik berkepanjangan di Aceh “hanya dapat diselesaikan” melalui cara cara yang mengedepankan nilai nilai kemanusiaan, menjungjung tinggi harkat dan martabat Rakyat Aceh, menghilangkan sifat egosentris dan menerapkan win win solution. Para pihak yang bertikai yaitu Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Indonesia bersepakat untuk mengakhiri permusuhan dengan ditandatanganinya Mou Helsinki 15 Agustus 2005 di Helsinki Finlandia, yang dimediasi oleh Maarti Ahtisaari.

Membanjirnya bantuan kemanusiaan ke Aceh yang bertujuan untuk merehabilitasi dan merekonstruksi kerusakan pasca tsunami, umumnya hanya mengutamakan aspek keuangan/finansial. Pola pola bantuan yang hanya mengedepankan sisi finansial (baik pada program rehab rekon maupun program reintegrasi perdamaian), dengan menafikan sisi kearifan agama, adat dan budaya serta rasa keadilan para korban konflik, mengakibatkan munculnya sekat sekat dan jurang pemisah sosial diantara sesama Rakyat Aceh. Sekat sekat sosial berupa timpangnya keadilan ekonomi diantara sesama elemen anggota masyarakat, berpotensi memunculkan konflik horizontal.

Disamping itu, pelaku pelaku utama pergerakan pemuda dan mahasiswa Aceh, yang dulunya menjadi pelopor penegakan hak hak masyarakat sipil malah turut terjebak dan hanyut dalam menciptakan ketidakadilan baik dalam bidang sosial ekonomi, maupun dalam bidang politik.

Jumat, 18 Februari 2011

MANFAAT SHALAT TAHAJJUD

Sebuah hadis qudsi tentang fadhilah Tahajud ini, sebagaimana diriwayatkan Bukhari, Muslim, Malik, Turmudzi, dan Abu Dawud, bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Tuhanmu yang Maha Pemberi Berkah dan Maha Mulia, selalu turun ke langit dunia setiap malam, pada paruh waktu seperti tiga malam terakhir, dan Dia berfirman: “Barang siapa yang berdoa kepada-Ku maka akan Aku kabulkan, barangsiapa mengajukan permintaan kepada-Ku akan Aku berikan, dan barangsiapa memohon ampun kepada-Ku akan Aku ampuni.”.

Sebuah penelitian ilmiah membuktikan, shalat tahajjud membebaskan seseorang dari pelbagai penyakit. Berbahagialah Anda yang rajin shalat tahajjud. Di satu sisi pundi-pundi pahala Anda kian bertambah, di sisi lain, Anda pun bisa memetik keuntungan jasmaniah.Insya Allah, Anda bakal terhindar dari pelbagai penyakit.

Shalat tahajjud yang dilakukan di penghujung malam yang sunyi, kata bisa mendatangkan Ketenangan. Sementara ketenangan itu sendiri terbukti mampu meningkatkan ketahanan tubuh imunologik, mengurangi resiko terkena penyakit jantung dan meningkatkan usiaharapan hidup.

Sebaliknya, bentuk-bentuk tekanan mental seperti Stres maupun Depresi membuat seseorang rentan terhadap berbagai penyakit, infeksi dan mempercepat perkembangan sel kanker serta meningkatkan metastasis (penyebaran sel kanker).

Tekanan mental itu sendiri terjadi akibat gangguan irama sirkadian (siklus bioritmik manusia) yang ditandai dengan peningkatan Hormon Kortisol. Perlu diketahui, Hormon Kortisol ini biasa dipakai sebagai tolok ukur untuk mengetahui kondisi seseorang apakah jiwanya tengah terserang stres, depresi atau tidak.

Tahajjud mengandung aspek meditasi dan relaksasi sehingga dapat digunakan sebagai coping mechanism atau pereda stres yang akan meningkatkan ketahanan tubuh seseorang secara natural.

Tahajjud harus secara ikhlas & kontinyu. Namun pada saat yang sama, shalat tahajjud pun bisa mendatangkan stres, terutama bila Tidak Dilaksanakan Secara Ikhlas dan Kontinyu. Jika tidak dilaksanakan dengan ikhlas, bakal terjadi kegagalan dalam menjaga homeostasis atau daya adaptasi terhadap perubahan pola irama pertumbuhan sel yang normal, tetapi jika dijalankan dengan ikhlas dan kontinyu akan sebaliknya.

Dengan begitu, keikhlasan dalam menjalankan shalat tahajjud menjadi sangat penting. Selama ini banyak Kiyai dan intelektual berpendapat bahwa ikhlas adalah persoalan mental-psikis. Artinya, hanya Allah swt yang mengetahui dan mustahil dapat dibuktikan secara ilmiah. Namun sekarang dapat dibuktikan lewat penelitian.

Secara medis, ikhlas yang dipandang sebagai sesuatu yang misteri itu bisa dibuktikan secara kuantitatif melalui indikator sekresi hormon kortisol. Keikhlasan dalam shalat tahajjud dapat dimonitor lewat irama sirkadian, terutama pada sekresi hormon kortisolnya.

Jika ada seseorang yang merasakan sakit setelah menjalankan shalat tahajjud, besar kemungkinan itu berkaitan dengan niat yang tidak ikhlas, sehingga gagal terhadap perubahan irama sirkadian tersebut.

Gangguan adaptasi itu tercermin pada sekresi kortisol dalam serum darah yang seharusnya menurun pada malam hari. Apabila sekresi kortisol tetap tinggi, maka produksi respon imunologik akan menurun sehingga berakibat munculnya gangguan kesehatan pada tubuh seseorang.

Sedangkan sekresi kortisol menurun, maka indikasinya adalah terjadinya
produksi respon imunologik yang meningkat pada tubuh seseorang. Niat yang tidak ikhlas, kata Sholeh, akan menimbulkan kekecewaan, persepsi negatif, dan rasa tertekan.

Perasaan negatif dan tertekan itu menjadikan seseorang rentan terhadap serangan stres. Dalam kondisi stres yang berkepanjangan yang ditandai dengan tingginya sekresi kortisol, maka hormon kortisol itu akan bertindak sebagai imunosupresif yang menekan proliferasi limfosit yang akan mengakibatkan imunoglobulin tidak terinduksi.

Karena imunoglobulin tidak terinduksi maka sistem daya tahan tubuh akan menurun sehingga rentan terkena infeksi dan kanker. Kanker, seperti diketahui, adalah pertumbuhan sel yang tidak normal. Nah, kalau melaksanakan shalat tahajjud dengan ikhlas dan kontinyu akan dapat merangsang pertumbuhan sel secara normal sehingga membebaskan pengamal shalat tahajjud dari berbagai penyakit dan kanker (tumor ganas).

Shalat tahajjud yang dijalankan dengan tepat, kontinyu, khusyuk, dan ikhlas dapat menimbulkan persepsi dan motivasi positif sehingga menumbuhkan coping mechanism yang efektif.

Respon emosional yang positif atau coping mechanism dari pengaruh shalat tahajjud ini berjalan mengalir dalam tubuh dan diterima oleh batang otak. Setelah diformat dengan bahasa otak, kemudian ditrasmisikan ke salah satu bagian otak besar yakni Talamus.

Kemudian, Talamus menghubungi Hipokampus (pusat memori yang vital untuk mengkoordinasikan segala hal yang diserap indera) untuk mensekresi GABA yang bertugas sebagai pengontrol respon emosi, dan menghambat Acetylcholine, serotonis dan neurotransmiter yang lain yang memproduksi sekresi kortisol.

Selain itu, Talamus juga mengontak prefrontal kiri-kanan dengan mensekresi dopanin dan menghambat sekresi seretonin dan norepinefrin. Setelah terjadi kontak timbal balik antara Talamus-Hipokampus-Amigdala-Prefrontal kiri-kanan, maka Talamus mengontak ke Hipotalamus untuk mengendalikan sekresi kortiso.

Wallahu a’lam.

***

Sumber: Harian Republika.

Senin, 16 Agustus 2010

"Pengakuan Kemerdekaan dibalik MoU Helsinsky”

Freedom atau kebebasan yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan merdeka, merupakan hak kodrati manusia untuk terbebas dari segala bentuk penjajahan dan penindasan. 17 Agustus 45 tanggal proklamasi kemerdekaan indonesia yang kemudian setiap tahunnya di peringati sebagai hari kemerdekaan Indonesia, walaupun secara dejure pengakuan kemerdekaan Indonesia bukanlah pada tanggal tersebut.

Kerajaan Belanda baru mengakui 17 Agustus 45 sebagai hari kemerdekaan RI pada 15 Agustus 2005 yang disampaikan menlu Bernard Bot mewakili kerajaan Belanda. dia menegaskan, kehadirannya pada upacara Hari Ulang Tahun RI ke-60 dapat dilihat sebagai penerimaan politik dan moral bahwa Indonesia merdeka pada 17-8-1945.

Atas nama Belanda ia juga meminta maaf Selama hampir 60 tahun Belanda tidak bersedia mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Belanda menganggap kemerdekaan Indonesia baru terjadi pada 27 Desember 1949, yaitu ketika soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam. Di Belanda selama ini juga ada kekhawatiran bahwa mengakui Indonesia merdeka pada tahun 1945 sama saja mengakui tindakan politionele acties (agresi militer) pada 1945-1949 adalah ilegal.

Ironi, dialektika yang terjadi berjalan seperti langkah bidak catur, diwaktu yang sama 16 Agustus 2005 Belanda mengakui 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan dengan resiko agresi militer mereka pada waktu itu adalah illegal, dan itu hanya berjarak satu hari dari hari penandatanganan MoU antara pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) 15 Agustus 2005 di Helsinsky, Finlandia. Dan layaknya pewaris tunggal pasca kembalinya penjajah ke Negara masing masing (Belanda-Jepang) bangsa Indonesia mewarisi semua peninggalan penjajah. Sistem pendidikan, hukum, politik dan lain lain. Dan semuanya merupakan warisan dari Sang penjajah yang dulunya kita musuhi.

Apa sebenarnya makna kemerdekaan yang telah kita rayakan setiap tahun itu?. Apakah yang kita rayakan selama ini adalah semangat golongan muda yang telah mendesak soekarno di rengasdengklok Batavia pada 16 Agustus 1945 untuk segera memproklamirkan kemerdekaan RI yang tertulis di atas secarik kertas?, atau semangat menyatakan diri sebagai bangsa merdeka (defacto) dalam artian penolakan terhadap berbagai bentuk penjajahan?.
Tentu saja jawabannya akan beragam, sesuai dengan warna warni sejarah silam dan political will pemerintah RI dalam memaknai daerah daerah lain di luar pulau Jawa.

Aceh misalnya, dalam sejarah proklamasi kemerdekaan Aceh memiliki sejarah luar biasa sebagai daerah modal. Daerah modal kemerdekaan itu tidak hanya persoalan pembelian pesawat seulawah, Radio Rimba Raya dan juga Komando Militer Akademi (KMA) Bireuen. Klaim sebagai satu satunya daerah yang berdaulat, modal, merdeka dan bagian tidak terpisah dari RI menjadi sejarah besar masyarakat Aceh sebelumnya karena pengakuan belanda terhadap kemerdekaan RI adalah pada tahun 1949.

Dan sebutan Aceh sebagai daerah modal pasca 2005 tentu saja sudah kurang tepat karena belanda telah mengeluarkan pernyataan bahwa 17 Agustus 1945 lah hari kemerdekaan RI, jadi secara inplisit semua daerah telah dinyatakan dalam status sama pasc aproklamasi.
Mungkin dari sudut pandang pemerintah pusat penguatan integritas bangsa dan Negara secara sentralistik adalah solusi damai kemerdekaan, tidak ada lagi riak-riak pemberontakan kekhususan, apalagi ingin merdeka. Segala upaya akan dilakukan, mulai penghilangan dan pengaburan fakta sejarah, pendekatan penguatan militerisme, penyebaran virus-virus ke masyarakat bawah hingga politik warisan “adu domba/devide et impera” akan terus di lakukan.

Lain lagi bila kita melihat dari sudut pandang daerah, seperti Aceh yang terkesan pasca MoU ingin dipenuhi segala point point yang telah di janjikan dengan asumsi dangkal “kekahwatiran” Jakarta akan terwujudnya self government dalam bahasa lainnya federal. Self goverment adalah cita cita perjuangan yang paling minimal setelah sebelumnya mereka (GAM) berjuang untuk memerdekakan Aceh. sama seperti beberepa daerah lain di Indonesia dan bahkan belahan dunia lain. Namun ketika secara terang terangan telah terjadi pengkhianatan terhadap MoU oleh para pihak dengan korban ke sekian kalinya adalah rakyat Aceh, kemanakah rakyat Aceh harus mencari keadilan?. Di saat CMI sebagai lembaga mediasi perdamaian yang turut di amini oleh Uni Eropa turut diam beserta para pihak, siapa lagi yang dapat di percaya untuk menyelesaikan berbagai persoalan Aceh. 15 dan 17 Agustus adalah damai dalam kemerdekaan RI, dan itu harga mati.

Maka secara serentak akan dapat disaksikan berbagai macam event perayaan damai-kemerdekaan berlangsung tanpa makna dan esensial substantive dari apa yang sedang di rayakan itu baik perayaan MoU maupun kemerdekaan Republik Indonesia.

Disamping beberapa harapan yang berujung kepada kekecewaan, juga ada berbagai macam kekhawatiran yang akan terjadi seandainya kondisional degradasi dan ketidakpedulian terhadap permasalahan social dan politik akan terus berkembang yaitu akan lahirnya generasi bangsa yang sami’na wa ata’na ketaatan terbatas pada informasi searah yang di dapatkan, dan kondisi tersebut adalah neraka bagi dunia demokrasi sesungguhnya, dan syurga dunia bagi demokrasi jadi jadian atau demokrasi yang beberapa silanya hanyalah hasil dari kesepakatan tawar menawar politik antar beberapa golongan aliran klasik pada waktu itu.

Maka dari itu sudah saatnya seluruh elemen masyarakat mulai melakukan proses penyadaran diri dimulai dari dalam, sekitar dan lingkungannya hingga menjadi Aceh yang tersadarkan terhadap model model baru pendidikan pembodohan dan system system pengkhianatan. Dan jangan lupa bahwa Aceh dengan Belanda belum selesai.

Oleh : Muhammad Amin

Rabu, 26 Mei 2010

Carikan Aku Renggali

Carikanlah aku renggali yang mekar direrimbunan Robusta dan Arabika,
renggali semerbak yang merah kelopak daunnya, bunga tangkai hati yang merekah menjelang pagi.

Renggali umpama bulan yang tidak takut menghadapi malam, renggali umpama matahari yang tidak pernah ingkar pada pagi, dan renggali bagaikan embun yang selalu setia menemani ilalang.





26 Mei 2010

Muhammad Amin

BULAN TENGGELAM DIPANTAI ULEE LHEU

Dipantai ulee lheu
Angin berhembus mendayu
Bulan tampak murung
Lalu tenggelam

Aku saksikan bulan pergi
Dibalut mega hitam
Tanpa sempat pamit
Meninggalkan aku bersama malam.
Hanya menara tua yang tau
Kenapa bulan tak berlama-lama
Mungkin tidak sanggup menahan rasa

Tinggal aku dalam kesendirian menanti fajar
Engkau yang kuharap juga tak kunjung datang
Biarlah riak laut yang menemaniku habiskan malam
Bersama embun yang setia pada ilalang.


Ulee lheu, 20 Januari 2010

Oleh: Muhammad Amin

Catatan:

*Ulee lheu adalah nama gampoeng di

Tanggapan Terhadap OMS atas Judicial Revieuw Pasal 256 UUPA

”Masa konflik, Dahulu seakan Aceh satu, dan dalam kaitannya dengan Indonesia selalu dikotomis.” adalah statment keterusterangan Otto syamsyudin Ishak yang mengakui bahwa dulu OMS (Organisasi masyarakat Sipil) Aceh seakan bersatu dan menjadikan Jakarta sebagai musuh bersama sebagai pemerintah pusat yang notabenenya telah mengkhianati dan mendhalimi rakyat Aceh. Dan ternyata TIDAK!. Dengan bahasa lain, banyak diantara mereka yang setengah hati untuk mengiyakan dikotomis dengan jakarta dan mulai menampakkan wajah aslinya.

Dilematis, namun apa hendak dikata ketika dulunya orderan gerakan idiologis rakyat berkata lain, yaitu idiologi ”Pembebasan” dalam artian hilangnya dependensial ekonomi, hukum dan politik yang menjarah dan memaksa secara dominatif dan diskriminatif terhadap hak-hak rakyat Aceh. Padahal jelas dalam asas konstitusi Republik Indonesia di pasal 3 dan 5 pancasila disebutkan bahwa persatuan Indonesia dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bukanlah kesatuan dalam artian sentralistik dan kapitalisasi dengan menjarah hasil alam di daerah.

Dengan varian idiologi pun ketika itu berbagai elit politik di Aceh bertahan dan mencoba bertopeng dengan menjual isu kolektif rakyat untuk menampakkan eksistensinya demi tujuan tertentu.

Seolah dimakan masa dan reasoning ”lelah”, yang menamakan dirinya elemen masyarakat sipil Aceh yang merasa harus melunak dengan jakarta ketika mentalitas perjuangan idiologi dalam topeng kepura-puraan dipaksa untuk dibuka dan menampakkan wujud aslinya.

Terlepas dari berbagai asumsi pedagogi (kepandaian menghasut) elit sekarang ini, rakyat sudah dapat melihat jelas ”siapa” yang tetap konsisten memperjuangkan target capaian kolektif rakyat Aceh. Pasca konflik atau pasca penandatanganan MoU, GAM secara terbuka telah menyelesaikan beberapa hal yang telah dijanjikan sebagai agenda utama rekonsiliasi, mulai dari reintegrasi kombatan kembali ke masyarakat sipil sampai dengan decomisioning (pemusnahan senjata). Namun apa yang dilakukan oleh Pemeritah Pusat? walaupun dengan pengakuan yang sama terhadap UUPA yang notabenenya adalah bentuk baru dari pemunafikan dan pengkhianatan terhadap MoU dan rakyat Aceh.

Namun dengan pertimbangan bergaining sekarang ini, ketergesa-gesaan untuk mencoba meyudisial reviewkan UUPA secara parsial tanpa pertimbangan skala prioritas yang menyangkut dengan kepentingan rakyat sesuai MoU adalah tindakan konyol dan perbuatan syaitan. Bukankah Rasulullah dengan sangat jelas dan tegas telah mengingatkan kita ummatnya bahwa perbuatan tergesa-gesa dan sembrono adalah tindakan Syaitan, secara inplisitnya pelaku telah terjebak dalam settingan syaitan.

Amnesia akan menyebabkan elit-elit politik Aceh lupa substansial persoalan Aceh vis a vis Jakarta, Politik, kesejahteraan, keadilan dan idiologi kah? Atau memang murni tentang persoalan logika hukum?. Dengan tidak menafikan bahwa untuk mentransformasikan MoU ke Perundangan-undangan kita memerlukan Instrumen Hukum dan kelihaian logika hukum.

Berdasarkan historis konflik yang telah terjadi dalam beberapa fase, Aceh selalu dapat didiamkan dengan janji-janji manis. Sehingga dengan alasan keputusasaan dan perjuangan atas nama demokrasi yang hanya menjadi kedok atau manipulasi elit yang kalah dalam pertarungan politik sekarang ini bermunculan wacana upaya melakukan uji materil (yudicial review) terhadap pasal 256 UUPA tentang calon independen.

Menyangkut dengan rencana judicial review tersebut akan menjadi semakin krusial di Aceh, terlebih dalam sistem politik yang belum setle, dimana etika politik belum menjadi sandaran perilaku politik. Semestinya kekalahan politik dalam sebuah kompetisi harus dimaknai sebagai isyarat, bahwa mereka tidak mendapat legitimasi rakyat.

Namun sebaliknya judicial review pasal 256 bisa dianggap urgent, jika mekanisme demokrasi tidak mampu memunculkan pemimpin yang berkualitas. Ataupun, partai politik sudah tidak mampu memposisikan dirinya sebagai mata rantai yang sangat menentukan dalam proses rekrutmen politik dan tugas pokok lainnya. (TB. Massa Djafar: Grand Nanggroe: 26/4/2010).

Maka sungguh suatu fakta kemunduran dan pembodohan publik secara nyata, ketika kita melihat pemimpin Pemerintahan Aceh dan Kab/kota sekarang ini adalah figur-figur yang telah dianggap gagal oleh sekelompok orang yang menamakan diri elemen masyarakat sipil, termasuk Otto Syamsudin.

Pemerintah sekarang ini adalah figur-figur yang dulunya menempuh jalur independen. Jalur Independen telah terbukti gagal dalam artian tidak sanggup menampung aspirasi dan kepentingan publik secara riil dalam membawa rakyat menuju pintu kesejahteraan dan keadilan dalam bingkai kebersamaan. kegagalan jalur Independen tentu menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi seluruh masyarakat Aceh untuk tidak mengulangi kegagalan yang sama seperti filosofi keledai.

Berbicara otokrasi, oligarkhis dan keretakan rakyat (konflik horizontal), hal tersebut justru merupakan salah satu titik lemah dan rawan sebagai implikasi pasti dari relatifitas merebaknya calon independen. Ketiadaan mesin politik (partai politik) dan jauh dari dukungan parlemen dalam perihal mem back-up, menggerakkan, dan mengelola pemerintahan juga merupakan problematika real yang akan dihadapi kendatipun dia memenangkan pemilihan.

Ketidakhati-hatian dalam berdemokrasi dengan artian borderr less hanya akan menambah deretan panjang lahirnya pemimpin-pemimpin yang ”sembarangan”, seperti dalam berbagai ungkapan masyarakat ”kon jeut chit apa syam jeut mencalonkan droegeuh keu gubernur, karena nyan hak yang dijamin oleh konstitusi dan nyan wujud demokrasi”. Sungguh pendidikan politik yang sangat mencerdaskan rakyat untuk mendapatkan haknya, dengan beribu efek negatif lainnya yang tidak perlu terlalu dipersoalkan di Aceh dengan berbagai pertimbangan nilai positif.

Upaya dilakukannya yudicial review pasal 256 tentang calon perseorangan merupakan penghancuran cita-cita dan karakteristik perjuangan rakyat Aceh.

Apabila sosok personal tetap akan maju untuk melakukan hal tersebut dengan alasan pengupayaan demokrasi tentang penjaminan konstitusional terhadap hak warga negara secara individual. ada implikasi negatif terhadap rakyat banyak yang harus sangat diperhatikan, yaitu hilangnya kejelasan kewenangan DPRA yang tertera dalam UUPA pada pasal 269 ayat 3, yang menyebutkan bahwa: “Dalam hal adanya rencana perubahan Undang-Undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA.”

Disamping itu juga pertaruhan hidup matinya hasil perjuang kekhususan yang telah menelan ribuan korban nyawa rakyat Aceh dengan bermunculannya person-person yang akan menghancurkan MoU sebagai capaian perjuangan tahap awal dengan cara mereduksi pasal per pasal UUPA tanpa keberpihakan terhadap MoU sebagai cita-cita perjuangan rakyat Aceh secara kolektif.

Secara objektif dan proporsional, harapan besar kepada partai yang memenuhi quota 5% kursi di parlemen baik PARNAS maupun PARLOK untuk dapat melakukan perekrutan calon kepala daerah provinsi dan Kab/Kota dengan prinsip opening bagi semua figur yang layak dan kompetitif dengan blue print logic dan sistemik untuk menjadi pemimpin Aceh di masa yang akan datang.

Semoga saja seluruh elemen sipil dan rakyat Aceh dapat melihat persoalan Aceh sekarang ini tidak hanya dengan kaca mata demokrasi individual dan kelompok, namun juga dapat menatap masa depan Aceh yang lebih baik dengan kaca mata demokrasi kebersamaan sebagai rakyat Aceh yang masih kenal dan sadar akan identitas ke Acehannya secara bermartabat, dan berdaulat.


oleh : Muhammad Amin, Amd

*Kita adalah satu*

Sahabat, apa yang kau tangkap dari ku selama ini? karena kulihat ada yang beda dengan senyummu, pada diriku tak ada hasrat nafsu yang menggebu, hanya intuisi saja yang membawaku untuk mengubah kata-kata menjadi bait-bait sajak.
Tahukah engkau DNA kita berakar pada satu yaitu Adam-Hawa. Dan juga cinta, Tuhan telah menyajikan untuk kita masing bermasing sesuai ikrar ketika ruh ditiup kedalam rahim, sementara dunia adalah tempat menuju persinggahan selanjutnya.
Sahabat, rasakanlah damainya malam ketika bintang gemintang menghiasi cakrawala, inilah hidup, ada alam beserta makhluk yang saling bergantungan dalam duka dan bahagia.
Ketahuilah bahwa kita adalah sahabat, ibarat lingkaran yang tak berujung, seperti laut yang tak bertepi, tak ada batas dimana pangkal dan ujung. Ibarat tubuh dan sel-sel yang menyatu, yang dipancarkan dari arasyi yang agung.

07 Februari 2010

Muhammad Amin