Categories

Senin, 16 Agustus 2010

"Pengakuan Kemerdekaan dibalik MoU Helsinsky”

Freedom atau kebebasan yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan merdeka, merupakan hak kodrati manusia untuk terbebas dari segala bentuk penjajahan dan penindasan. 17 Agustus 45 tanggal proklamasi kemerdekaan indonesia yang kemudian setiap tahunnya di peringati sebagai hari kemerdekaan Indonesia, walaupun secara dejure pengakuan kemerdekaan Indonesia bukanlah pada tanggal tersebut.

Kerajaan Belanda baru mengakui 17 Agustus 45 sebagai hari kemerdekaan RI pada 15 Agustus 2005 yang disampaikan menlu Bernard Bot mewakili kerajaan Belanda. dia menegaskan, kehadirannya pada upacara Hari Ulang Tahun RI ke-60 dapat dilihat sebagai penerimaan politik dan moral bahwa Indonesia merdeka pada 17-8-1945.

Atas nama Belanda ia juga meminta maaf Selama hampir 60 tahun Belanda tidak bersedia mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Belanda menganggap kemerdekaan Indonesia baru terjadi pada 27 Desember 1949, yaitu ketika soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam. Di Belanda selama ini juga ada kekhawatiran bahwa mengakui Indonesia merdeka pada tahun 1945 sama saja mengakui tindakan politionele acties (agresi militer) pada 1945-1949 adalah ilegal.

Ironi, dialektika yang terjadi berjalan seperti langkah bidak catur, diwaktu yang sama 16 Agustus 2005 Belanda mengakui 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan dengan resiko agresi militer mereka pada waktu itu adalah illegal, dan itu hanya berjarak satu hari dari hari penandatanganan MoU antara pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) 15 Agustus 2005 di Helsinsky, Finlandia. Dan layaknya pewaris tunggal pasca kembalinya penjajah ke Negara masing masing (Belanda-Jepang) bangsa Indonesia mewarisi semua peninggalan penjajah. Sistem pendidikan, hukum, politik dan lain lain. Dan semuanya merupakan warisan dari Sang penjajah yang dulunya kita musuhi.

Apa sebenarnya makna kemerdekaan yang telah kita rayakan setiap tahun itu?. Apakah yang kita rayakan selama ini adalah semangat golongan muda yang telah mendesak soekarno di rengasdengklok Batavia pada 16 Agustus 1945 untuk segera memproklamirkan kemerdekaan RI yang tertulis di atas secarik kertas?, atau semangat menyatakan diri sebagai bangsa merdeka (defacto) dalam artian penolakan terhadap berbagai bentuk penjajahan?.
Tentu saja jawabannya akan beragam, sesuai dengan warna warni sejarah silam dan political will pemerintah RI dalam memaknai daerah daerah lain di luar pulau Jawa.

Aceh misalnya, dalam sejarah proklamasi kemerdekaan Aceh memiliki sejarah luar biasa sebagai daerah modal. Daerah modal kemerdekaan itu tidak hanya persoalan pembelian pesawat seulawah, Radio Rimba Raya dan juga Komando Militer Akademi (KMA) Bireuen. Klaim sebagai satu satunya daerah yang berdaulat, modal, merdeka dan bagian tidak terpisah dari RI menjadi sejarah besar masyarakat Aceh sebelumnya karena pengakuan belanda terhadap kemerdekaan RI adalah pada tahun 1949.

Dan sebutan Aceh sebagai daerah modal pasca 2005 tentu saja sudah kurang tepat karena belanda telah mengeluarkan pernyataan bahwa 17 Agustus 1945 lah hari kemerdekaan RI, jadi secara inplisit semua daerah telah dinyatakan dalam status sama pasc aproklamasi.
Mungkin dari sudut pandang pemerintah pusat penguatan integritas bangsa dan Negara secara sentralistik adalah solusi damai kemerdekaan, tidak ada lagi riak-riak pemberontakan kekhususan, apalagi ingin merdeka. Segala upaya akan dilakukan, mulai penghilangan dan pengaburan fakta sejarah, pendekatan penguatan militerisme, penyebaran virus-virus ke masyarakat bawah hingga politik warisan “adu domba/devide et impera” akan terus di lakukan.

Lain lagi bila kita melihat dari sudut pandang daerah, seperti Aceh yang terkesan pasca MoU ingin dipenuhi segala point point yang telah di janjikan dengan asumsi dangkal “kekahwatiran” Jakarta akan terwujudnya self government dalam bahasa lainnya federal. Self goverment adalah cita cita perjuangan yang paling minimal setelah sebelumnya mereka (GAM) berjuang untuk memerdekakan Aceh. sama seperti beberepa daerah lain di Indonesia dan bahkan belahan dunia lain. Namun ketika secara terang terangan telah terjadi pengkhianatan terhadap MoU oleh para pihak dengan korban ke sekian kalinya adalah rakyat Aceh, kemanakah rakyat Aceh harus mencari keadilan?. Di saat CMI sebagai lembaga mediasi perdamaian yang turut di amini oleh Uni Eropa turut diam beserta para pihak, siapa lagi yang dapat di percaya untuk menyelesaikan berbagai persoalan Aceh. 15 dan 17 Agustus adalah damai dalam kemerdekaan RI, dan itu harga mati.

Maka secara serentak akan dapat disaksikan berbagai macam event perayaan damai-kemerdekaan berlangsung tanpa makna dan esensial substantive dari apa yang sedang di rayakan itu baik perayaan MoU maupun kemerdekaan Republik Indonesia.

Disamping beberapa harapan yang berujung kepada kekecewaan, juga ada berbagai macam kekhawatiran yang akan terjadi seandainya kondisional degradasi dan ketidakpedulian terhadap permasalahan social dan politik akan terus berkembang yaitu akan lahirnya generasi bangsa yang sami’na wa ata’na ketaatan terbatas pada informasi searah yang di dapatkan, dan kondisi tersebut adalah neraka bagi dunia demokrasi sesungguhnya, dan syurga dunia bagi demokrasi jadi jadian atau demokrasi yang beberapa silanya hanyalah hasil dari kesepakatan tawar menawar politik antar beberapa golongan aliran klasik pada waktu itu.

Maka dari itu sudah saatnya seluruh elemen masyarakat mulai melakukan proses penyadaran diri dimulai dari dalam, sekitar dan lingkungannya hingga menjadi Aceh yang tersadarkan terhadap model model baru pendidikan pembodohan dan system system pengkhianatan. Dan jangan lupa bahwa Aceh dengan Belanda belum selesai.

Oleh : Muhammad Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar