Categories

Minggu, 03 April 2011

GERAKAN-GERAKAN PEMUDA DAN MAHASISWA ACEH Pergerakan Pemuda Dan Mahasiswa Era 1994-1998


Tumbuhnya kesadaran bersama secara massif di kalangan Mahasiswa Pemuda Aceh di Aceh dan di perantauan, terhadap situasi dan kondisi aceh yang mengalami degradasi kemanusiaan secara akut akibat tindakan represif aparat militer yang merupakan implementasi dari kebijakan pemerintah pusat dalam merespons sikap Rakyat Aceh yang menuntut persamaan hak dan keadilan, yang mana selama bergabung kedalam Republik Indonesia, dinistakan harkat dan martabatnya. Elemen-elemen Mahasiswa Pemuda Aceh di Aceh dan perantauan merasa perlu untuk menjalin komunikasi dengan sesama elemen mahasiswa pemuda mengenai isu-isu demiliterisasi dan humanisme, sehingga membentuk aliansi taktis kelompok muda dalam rangka memperjuangkan harkat dan martabat rakyat sipil yang tertindas, terutama akibat tindakan tindakan represif Pemerintah yang diwakili oleh aparatur militernya.

Elemen elemen Mahasiswa Pemuda Aceh di Aceh dan perantauan juga memandang penting bahwa wadah pemersatu merupakan hal yang mutlak diperlukan untuk mengefektifkan perjuangan untuk mengangkat kembali harkat dan martabat Rakyat Aceh dengan pola pola pikir dan pendekatan secara intelektual. Sehingga terbentuklah KARMA di Aceh dan KMPAN diperantauan serta organisasi-organisasi mahasiswa dan pemuda lainnya. Puncak dari kesadaran massif yang telah tumbuh subur dan mengkristal di kalangan Mahasiswa Pemuda Aceh saat itu adalah kemampuan memanfaatkan runtuhnya hegemoni Orde Baru untuk mendorong dicabutnya status Daerah Operasi Militer di Aceh dan upaya penghentian konflik bersenjata di Aceh dengan cara mendorong isu-isu yang lebih pada gerakan politik.

a. Pola Gerakan Pemuda Dan Mahasiswa Era 1999-2004

Elemen elemen Mahasiswa Pemuda Aceh di Aceh dan di perantauan memandang penting dan mendesak untuk segera mengambil tindakan dalam menyikapi momen perubahan geopolitik nasional terhadap kebebasan dan hak hak sipil. Sikap yang lahir pada saat ini adalah menindaklanjuti momentum positif terhadap kebebasan dan hak hak sipil dengan menyatakan sikap bersama bahwa penyelesaian konflik Aceh secara damai dan bermartabat dapat dilakukan dengan solusi yaitu memberikan kesempatan kepada Rakyat Aceh untuk mengambil kembali salah satu pilar hak hak sipil yang selama ini terenggut berupa kebebasan memilih dan menentukan nasibnya sendiri (self determinence).

Solusi berupa kebebasan memilih dan menentukan nasibnya sendiri, dimana di Aceh lebih dikenal dengan istilah Referendum. Opsi yang disepakati terdapat dalam jajak pendapat untuk menyelesaikan konflik Aceh secara damai yaitu Otonomi Khusus dalam Negara Republik Indonesia atau melepaskan diri dari Negara republik Indonesia. Untuk mensosialisasikan dan memberikan pemahaman menyeluruh tentang substansi Referendum, mekanisme maupun opsi yang ada, maka elemen sipil pada saat itu membentuk organisasi khusus untuk itu.

Pasca pembentukan organisasi tersebut, euforia dikalangan masyarakat Aceh begitu tinggi dalam merespon Nasionalisme keAcehan untuk menegakkan kembali harkat dan martabatnya, sehingga, sekali lagi Pemerintah Pusat dengan sikap fobia berlebihan dalam menilai dinamika pada masyarakat Aceh saat itu sebagai suatu ancaman, sehingga menerapkan status Darurat Militer dan Sipil, sehingga menyebabkan kekerasan demi kekerasan tetap menjadi sejarah kelam yang terulang di Bumi Serambi Mekkah. Penistaan terhadap harkat dan martabat Rakyat Aceh mencapai klimaknya sampai akhir periode 2004.

b. Anomali Gerakan Pemuda Dan Mahasiswa Era 2005-2006

Gempa Bumi dan Tsunami sebagai satu satunya peristiwa yang berada diluar kemampuan dan campur tangan manusia, baik atas nama perorangan, komunitas, organisasi, maupun institusi baik formal dan informal, telah membuka mata hati seluruh komponen dan elemen masyarakat bahwa konflik berkepanjangan di Aceh “hanya dapat diselesaikan” melalui cara cara yang mengedepankan nilai nilai kemanusiaan, menjungjung tinggi harkat dan martabat Rakyat Aceh, menghilangkan sifat egosentris dan menerapkan win win solution. Para pihak yang bertikai yaitu Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Indonesia bersepakat untuk mengakhiri permusuhan dengan ditandatanganinya Mou Helsinki 15 Agustus 2005 di Helsinki Finlandia, yang dimediasi oleh Maarti Ahtisaari.

Membanjirnya bantuan kemanusiaan ke Aceh yang bertujuan untuk merehabilitasi dan merekonstruksi kerusakan pasca tsunami, umumnya hanya mengutamakan aspek keuangan/finansial. Pola pola bantuan yang hanya mengedepankan sisi finansial (baik pada program rehab rekon maupun program reintegrasi perdamaian), dengan menafikan sisi kearifan agama, adat dan budaya serta rasa keadilan para korban konflik, mengakibatkan munculnya sekat sekat dan jurang pemisah sosial diantara sesama Rakyat Aceh. Sekat sekat sosial berupa timpangnya keadilan ekonomi diantara sesama elemen anggota masyarakat, berpotensi memunculkan konflik horizontal.

Disamping itu, pelaku pelaku utama pergerakan pemuda dan mahasiswa Aceh, yang dulunya menjadi pelopor penegakan hak hak masyarakat sipil malah turut terjebak dan hanyut dalam menciptakan ketidakadilan baik dalam bidang sosial ekonomi, maupun dalam bidang politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar