Categories

Rabu, 26 Mei 2010

Tanggapan Terhadap OMS atas Judicial Revieuw Pasal 256 UUPA

”Masa konflik, Dahulu seakan Aceh satu, dan dalam kaitannya dengan Indonesia selalu dikotomis.” adalah statment keterusterangan Otto syamsyudin Ishak yang mengakui bahwa dulu OMS (Organisasi masyarakat Sipil) Aceh seakan bersatu dan menjadikan Jakarta sebagai musuh bersama sebagai pemerintah pusat yang notabenenya telah mengkhianati dan mendhalimi rakyat Aceh. Dan ternyata TIDAK!. Dengan bahasa lain, banyak diantara mereka yang setengah hati untuk mengiyakan dikotomis dengan jakarta dan mulai menampakkan wajah aslinya.

Dilematis, namun apa hendak dikata ketika dulunya orderan gerakan idiologis rakyat berkata lain, yaitu idiologi ”Pembebasan” dalam artian hilangnya dependensial ekonomi, hukum dan politik yang menjarah dan memaksa secara dominatif dan diskriminatif terhadap hak-hak rakyat Aceh. Padahal jelas dalam asas konstitusi Republik Indonesia di pasal 3 dan 5 pancasila disebutkan bahwa persatuan Indonesia dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bukanlah kesatuan dalam artian sentralistik dan kapitalisasi dengan menjarah hasil alam di daerah.

Dengan varian idiologi pun ketika itu berbagai elit politik di Aceh bertahan dan mencoba bertopeng dengan menjual isu kolektif rakyat untuk menampakkan eksistensinya demi tujuan tertentu.

Seolah dimakan masa dan reasoning ”lelah”, yang menamakan dirinya elemen masyarakat sipil Aceh yang merasa harus melunak dengan jakarta ketika mentalitas perjuangan idiologi dalam topeng kepura-puraan dipaksa untuk dibuka dan menampakkan wujud aslinya.

Terlepas dari berbagai asumsi pedagogi (kepandaian menghasut) elit sekarang ini, rakyat sudah dapat melihat jelas ”siapa” yang tetap konsisten memperjuangkan target capaian kolektif rakyat Aceh. Pasca konflik atau pasca penandatanganan MoU, GAM secara terbuka telah menyelesaikan beberapa hal yang telah dijanjikan sebagai agenda utama rekonsiliasi, mulai dari reintegrasi kombatan kembali ke masyarakat sipil sampai dengan decomisioning (pemusnahan senjata). Namun apa yang dilakukan oleh Pemeritah Pusat? walaupun dengan pengakuan yang sama terhadap UUPA yang notabenenya adalah bentuk baru dari pemunafikan dan pengkhianatan terhadap MoU dan rakyat Aceh.

Namun dengan pertimbangan bergaining sekarang ini, ketergesa-gesaan untuk mencoba meyudisial reviewkan UUPA secara parsial tanpa pertimbangan skala prioritas yang menyangkut dengan kepentingan rakyat sesuai MoU adalah tindakan konyol dan perbuatan syaitan. Bukankah Rasulullah dengan sangat jelas dan tegas telah mengingatkan kita ummatnya bahwa perbuatan tergesa-gesa dan sembrono adalah tindakan Syaitan, secara inplisitnya pelaku telah terjebak dalam settingan syaitan.

Amnesia akan menyebabkan elit-elit politik Aceh lupa substansial persoalan Aceh vis a vis Jakarta, Politik, kesejahteraan, keadilan dan idiologi kah? Atau memang murni tentang persoalan logika hukum?. Dengan tidak menafikan bahwa untuk mentransformasikan MoU ke Perundangan-undangan kita memerlukan Instrumen Hukum dan kelihaian logika hukum.

Berdasarkan historis konflik yang telah terjadi dalam beberapa fase, Aceh selalu dapat didiamkan dengan janji-janji manis. Sehingga dengan alasan keputusasaan dan perjuangan atas nama demokrasi yang hanya menjadi kedok atau manipulasi elit yang kalah dalam pertarungan politik sekarang ini bermunculan wacana upaya melakukan uji materil (yudicial review) terhadap pasal 256 UUPA tentang calon independen.

Menyangkut dengan rencana judicial review tersebut akan menjadi semakin krusial di Aceh, terlebih dalam sistem politik yang belum setle, dimana etika politik belum menjadi sandaran perilaku politik. Semestinya kekalahan politik dalam sebuah kompetisi harus dimaknai sebagai isyarat, bahwa mereka tidak mendapat legitimasi rakyat.

Namun sebaliknya judicial review pasal 256 bisa dianggap urgent, jika mekanisme demokrasi tidak mampu memunculkan pemimpin yang berkualitas. Ataupun, partai politik sudah tidak mampu memposisikan dirinya sebagai mata rantai yang sangat menentukan dalam proses rekrutmen politik dan tugas pokok lainnya. (TB. Massa Djafar: Grand Nanggroe: 26/4/2010).

Maka sungguh suatu fakta kemunduran dan pembodohan publik secara nyata, ketika kita melihat pemimpin Pemerintahan Aceh dan Kab/kota sekarang ini adalah figur-figur yang telah dianggap gagal oleh sekelompok orang yang menamakan diri elemen masyarakat sipil, termasuk Otto Syamsudin.

Pemerintah sekarang ini adalah figur-figur yang dulunya menempuh jalur independen. Jalur Independen telah terbukti gagal dalam artian tidak sanggup menampung aspirasi dan kepentingan publik secara riil dalam membawa rakyat menuju pintu kesejahteraan dan keadilan dalam bingkai kebersamaan. kegagalan jalur Independen tentu menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi seluruh masyarakat Aceh untuk tidak mengulangi kegagalan yang sama seperti filosofi keledai.

Berbicara otokrasi, oligarkhis dan keretakan rakyat (konflik horizontal), hal tersebut justru merupakan salah satu titik lemah dan rawan sebagai implikasi pasti dari relatifitas merebaknya calon independen. Ketiadaan mesin politik (partai politik) dan jauh dari dukungan parlemen dalam perihal mem back-up, menggerakkan, dan mengelola pemerintahan juga merupakan problematika real yang akan dihadapi kendatipun dia memenangkan pemilihan.

Ketidakhati-hatian dalam berdemokrasi dengan artian borderr less hanya akan menambah deretan panjang lahirnya pemimpin-pemimpin yang ”sembarangan”, seperti dalam berbagai ungkapan masyarakat ”kon jeut chit apa syam jeut mencalonkan droegeuh keu gubernur, karena nyan hak yang dijamin oleh konstitusi dan nyan wujud demokrasi”. Sungguh pendidikan politik yang sangat mencerdaskan rakyat untuk mendapatkan haknya, dengan beribu efek negatif lainnya yang tidak perlu terlalu dipersoalkan di Aceh dengan berbagai pertimbangan nilai positif.

Upaya dilakukannya yudicial review pasal 256 tentang calon perseorangan merupakan penghancuran cita-cita dan karakteristik perjuangan rakyat Aceh.

Apabila sosok personal tetap akan maju untuk melakukan hal tersebut dengan alasan pengupayaan demokrasi tentang penjaminan konstitusional terhadap hak warga negara secara individual. ada implikasi negatif terhadap rakyat banyak yang harus sangat diperhatikan, yaitu hilangnya kejelasan kewenangan DPRA yang tertera dalam UUPA pada pasal 269 ayat 3, yang menyebutkan bahwa: “Dalam hal adanya rencana perubahan Undang-Undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA.”

Disamping itu juga pertaruhan hidup matinya hasil perjuang kekhususan yang telah menelan ribuan korban nyawa rakyat Aceh dengan bermunculannya person-person yang akan menghancurkan MoU sebagai capaian perjuangan tahap awal dengan cara mereduksi pasal per pasal UUPA tanpa keberpihakan terhadap MoU sebagai cita-cita perjuangan rakyat Aceh secara kolektif.

Secara objektif dan proporsional, harapan besar kepada partai yang memenuhi quota 5% kursi di parlemen baik PARNAS maupun PARLOK untuk dapat melakukan perekrutan calon kepala daerah provinsi dan Kab/Kota dengan prinsip opening bagi semua figur yang layak dan kompetitif dengan blue print logic dan sistemik untuk menjadi pemimpin Aceh di masa yang akan datang.

Semoga saja seluruh elemen sipil dan rakyat Aceh dapat melihat persoalan Aceh sekarang ini tidak hanya dengan kaca mata demokrasi individual dan kelompok, namun juga dapat menatap masa depan Aceh yang lebih baik dengan kaca mata demokrasi kebersamaan sebagai rakyat Aceh yang masih kenal dan sadar akan identitas ke Acehannya secara bermartabat, dan berdaulat.


oleh : Muhammad Amin, Amd

Tidak ada komentar:

Posting Komentar