Ayah pergi
Malam itu sekitar pukul 03.00 Wib pintu rumah kami digedor sekelompok orang, aku bersama adik yang masih tertidur lelap diatas tempat tidur bambu terperanjat kaget, kami menatap satu sama lain dengan kebingungan, tidak mengerti sama sekali apa sebenarnya yang sedang terjadi, aku lihat ibu keluar dengan kaki gemetar menuju arah pintu, lalu kami mendengar suara pintu yang dibuka dengan paksa, secepat kilat tiga orang berseragam loreng masuk kekamar sambil berteriak “mana Abdullah, mana GPK itu”, nama yang barusan mereka sebut tak lain adalah nama ayahku.
Tingkah mereka seperti orang kesurupan, mereka mengobrak-abrik semua yang ada didalam kamar, dari lemari, sampai tikar alas tempat tidur kami mereka tarik dengan paksa, kami menangis sejadinya, namun tidak sedikitpun membuat mereka berubah, mereka terus saja membentak-bentak ibu menanyakan kemana ayah.
Sejak kejadian malam itu aku tak pernah lagi melihat wajah ayah, menurut keterangan dari ibu bahwa sebelum mereka datang, ayah sempat mendengar suara sebuah mobil yang bergerak menuju kearah rumah kami, lalu ayah cepat-cepat berkemas, kemudian lari lewat pintu belakang, firasat ayahku benar, bahwa mereka memang mencari beliau.
***
Umurku sekarang genap 12 tahun, sudah saatnya aku memasuki sekolah lanjutan tingkat pertama, Alhamdulillah nilai ijazah SD ku cukup untuk mendaftar disekolah SMP Negeri 1, yaitu sekolah favorit dikota Bireuen, sejak kepergian ayahku, semua biaya kebutuhan sehari-hari keluarga ditanggung oleh ibuku, dengan keahlian menjahit yang lumayan, ibu membuka sebuah usaha kecil-kecilan menerima orderan menjahit dari orang-orang kampung untuk biaya kebutuhan hidupku dan adik-adik.
Kerinduan kami pada ayah semakin hari semakin membuncah, hingga pada suatu hari aku bertanya pada ibu, “Ayah sekarang dimana Bu?” ibuku menjawab ,” ibu juga tidak tahu nak, sejak kejadian malam itu ibu tidak pernah lagi mendengar kabar tentang ayahmu”. Aku melihat mata ibuku berkaca-kaca sepertinya dia memendam perasaan yang amat dalam. “mungkin ayahmu telah meninggal nak”, mendengar jawaban demikian rasa-rasanya langit seakan runtuh, hatiku hancur berkeping-keping, lalu aku menangis sejadi-jadinya.
Nenekku yang rumahnya tidak seberapa jauh dengan rumah kami datang tergopoh-gopoh, menanyakan pada ibu, “kenapa Nyak Amad menangis, apa kamu memukulnya?”, tidak mak, jawab ibuku. Lalu kenapa dia menangis seperti orang kemasukan, apa gak ada makanan? Tanya nenekku dengan nada membentak, ibuku menjawab, “bukan karena itu dia menangis. Kemudian nenek bergegas kearahku, membujukku untuk berhenti menangis, dibawanya aku kesumur dan dimandikannya, kemudian aku dibawa masuk kerumah Santeut nenek, disana dia menceramahi aku, seperti seorang ustadz yang sedang memberi wejangan agama kepada muridnya.
Nyak Amad jangan merajuk begitu, tidak baik, nanti arwah ayahmu menangis dalam kuburnya, lebih baik sekarang kamu berdo’a semoga segala amal ibadah ayahmu diterima dan disisi Allah SWT, kita sebagai hamba yang beriman harus Ikhlas dan ridha menjalani setiap ujian yang datang dariNya, dan satu hal lagi, kamu harus rajin mengaji dan bersekolah dan mengaji.
Nasihat nenekku begitu tersentuh dan terpahat didalam dadaku, sejak saat itu aku tidak pernah lagi bertanya pada ibu tentang ayahku, hari demi hari aku lalui seperti anak-anak yang lain, mengerjakan segala pekerjaan yang menjadi tanggung jawabku sebagai anak yang tertua dalam keluarga.
***
Aksi Demontrasi
Kemarin aku baru saja mengikuti ujian akhir sekolah (EBTANAS), aku sangat berharap agar lulus dan memperoleh nilai yang baik, karena aku ingin melanjutkan lagi sekolah ku kejenjang yang lebih tinggi. Pada saat ujian pengumuman hasil ujian aku melihat nama dan nomor ujianku terpampang dipapan pengumuman., Alhamdulillah, aku lulus…! Teriakku meluapkan rasa gembira yang tak terhingga.
Pada saat aku berangkat pulang dari sekolah, aku melihat ada sejumlah masyarakat bersama anak-anak sekolah telah berkumpul di alun-alun kota Bireuen, sebagian dari mereka ada yang membawa spanduk, dan sebagian yang lain ada yang memegang kayu, dan ada juga yang membawa parang, dengan jelas aku membaca tulisan di spanduk itu. “Cabut DOM sekarang juga, tarik militer non organik dari Aceh”.
Sementara dikiri-kanan jalan ada sejumlah tentara yang sedang siaga dengan senjata lengkap. Semakin lama orang semakin ramai, mereka semuanya mengeluarkan kata-kata yang sama, aku bingung tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Tiba-tiba aku mendengar sura tembakan,, massa yang dari tadi berkumpul mulai berhamburan panik, ada yang bersembunyi dibalik tembok-tembok banguan ruko, aku juga ikut berlari mencari tempat perlindunga yang menurutku aman, aku tak menduga ada polisi yang sedang berjaga tepat dibelakangku, beliau menyuruhku untuk segera pulang. “Hai nyak kajak woe laju u rumoeh keudeeh bagah”.
Kemudian aku bergegas pulang menyusuri lorong-lorong kecil yang kosong hingga aku sampai di jalan bekas rel kereta api. Sepanjang jalan aku mendengarkan suara gemuruh tembakan semakin sporadis, aku berlari sambil merunduk karena takut peluru yang ditembakkan itu akan mengenaiku. Tepat pukull 16.00 aku sampai dirumah.
***
Ayah Pulang
Selang beberapa bulan setelah demontrasi besar-besaran itu aku mendengar kabar bahwa DOM telah dicabut oleh Panglima ABRI yang waktu itu dijabat Jenderal Wiranto. Diwarung-warung kopi orang mulai ramai membicarakan tentang kejadian-kejadian yang mengerikan pada masa berlaku DOM, mulai dari aksi peculikan, pembunuhan, dan pemerkosaan, yang dilakukan oleh prajurit ABRI selama diterapkan DOM di Aceh.
Tidak lama setelah pasukan non organik ditarik dari Aceh, orang yang dulunya lari dari kampung karena menghindar aparat Negara banyak yang sudah kembali, ada yang dari Jakarta, dari Medan dan bahkan ada yang dari Malaysia.
Suatu hari Apa Him datang kerumah menemui ibu, biasanya beliau datang kerumah jika ada khanduri atau hari raya, tapi kedatangan kali ini seperti ada sesuatu yang penting yang beliau ingin sampaikan pada ibu. Ternyata dugaanku benar, kedatangan beliau ingin mengabarkan bahwa Ayahku masih hidup dan sekarang berada di Malaysia.
“Kalau tidak ada halangan apapun insya Allah dalam minggu ini bang Lah pulang”, kata Apa Him.
Mendengar kabar gembira itu hatiku senang bukan main, aku sudah sangat rindu sama ayah, setelah hampir sepuluh tahun aku tak perah mendengar lagi kabar tentangnya,
Genap seminggu setelah kabar itu datang ayahku pulang dengan beberapa orang temannya.
Ibuku sangat senang dapat berjumpa kembali dengan suaminya yang tercinta, karena sangat terharu ibuku tak sanggup menahan air matanya, melihat ibu menangis aku juga ikut menangis dan bahagia yang tak terhingga.
(Kuta Raja, Agustus 2009)
Oleh: Muhammad Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar